Tragedi Kanjuruhan pada Oktober 2022 lalu telah menjadi titik balik penting dalam sejarah sepak bola Indonesia. Insiden tersebut mengakibatkan korban jiwa dan melukai banyak orang, serta menimbulkan kekhawatiran serius tentang keamanan dalam pertandingan sepak bola di negara ini.
Untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan, PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) perlu mengambil tindakan tegas terkait keamanan dalam pertandingan.
Pertama-tama, PSSI harus melibatkan semua pihak yang terkait dalam upaya meningkatkan keamanan. Ini termasuk kepolisian, pihak stadion, penyelenggara pertandingan, dan juga suporter.
Dalam menyusun protokol keamanan, PSSI harus mengambil pendekatan yang komprehensif dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Hal ini akan memastikan bahwa semua aspek keamanan tercakup dengan baik dan tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, PSSI juga perlu memperkuat pengawasan terhadap suporter yang terlibat dalam kerusuhan atau tindakan kekerasan di stadion.
Suporter adalah bagian yang tak terpisahkan dari permainan sepak bola dan kontribusinya dalam menciptakan atmosfer yang positif tidak dapat diabaikan.
Namun, tindakan kekerasan atau kerusuhan di antara suporter harus ditindak dengan tegas untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam pertandingan.
PSSI juga harus meningkatkan sanksi terhadap klub-klub yang gagal menjaga keamanan di stadion mereka. Klub memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan keamanan para penonton dan pemain di dalam stadion.
Jika klub tidak dapat memenuhi standar keamanan yang ditetapkan, mereka harus diberikan sanksi yang tegas, termasuk denda yang signifikan, pengurangan poin, atau bahkan diskualifikasi dari kompetisi. Hal ini akan mendorong klub untuk mengambil langkah-langkah yang serius dalam meningkatkan disiplin.
Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang meletus usai pertandingan Arema FC yang kalah 2-3 melawan Persebaya.
Tercatat ada sebanyak 135 orang yang tewas, dan 583 orang lainnya cedera. Bencana tersebut merupakan bencana paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola di seluruh dunia, setelah tragedi Estadio Nacional 1964 di Peru yang menewaskan 328 orang. Dengan demikian, bencana ini adalah yang paling mematikan di Indonesia, Asia, dan belahan bumi bagian timur.