Saya kesal.
Setelah berharap bahwa semesta sudah menunjukkan kuasanya untuk membantu Indonesia meraih kejayaan, lagi-lagi ternyata semua itu hanya konspirasi semata yang pada akhirnya mendulang kembali cerita lama. Kekecewaan.
Memang ekspektasi untuk mengalahkan Thailand sudah terjawab pada laga final leg pertama, namun kalah 2 gol tanpa balas di kandang Thailand menjadi akhir yang antiklimaks bagi 3 minggu perjalanan ajaib Indonesia di dunia mimpi.
Melihat minimnya persiapan serta ketentuan aneh dari PSSI, sebenarnya melaju keluar dari babak grup saja sudah merupakan hal yang teramat luar biasa. Namun, kembali lagi, kenyataan memang kejam. Kesedihan yang diberikan setelah semua kesenangan tersebut tuntas terbayar setelah Abduh Lestaluhu mendapatkan kartu merah di menit akhir babak ke-2 setelah terlihat menendang bola secara kasar ke arah bangku staff tim nasional Thailand.
Kita harus mengakui bahwa Thailand menang dari segala sisi aspek pertandingan malam itu. Bahkan bicara kenyataan, Indonesia bukanlah lawan yang layak berdiri sejajar dengan Thailand. Jepang, Korea, Arab Saudi, hingga Australia kini menjadi lawan yang dipandang sederajat oleh Thailand.
Lalu, setelah pulang ke tanah air, Presiden Republik Indonesia menyambut mereka bagai pahlawan. Mengundang seluruh pemain ke istana, makan bersama, tertawa bersama, foto bersama.
Menarik? Tentu saja. Kalau saya jadi Alfred Riedl saya akan menendang bola kuat-kuat ke luar lapangan istana merdeka sebagai simbol protes akan jamuan makan tersebut. Saya yakin Riedl ingin secepatnya selesai makan dan pulang ke rumahnya tanpa harus berbangga hati menjadi sang runner-up untuk kali ke-3.
Aksi tendang bola yang diperlihatkan oleh Lestaluhu adalah gambaran bagaimana saya, kita, Riedl, dan masyarakat Indonesia lainnya merasa muak akan ketidakmampuan kita. Keterbatasan itu meledak dan kemarahan kita semua tergambarkan oleh aksi Lestaluhu tersebut.
Banyak orang bertanya, “Bagaimana mau juara jika mentalitas kita hanya sebatas itu dan harus diwarnai oleh aksi kurang hormat seperti apa yang diperlihatkan Lestaluhu?”.
Mungkin memang benar bahwa hal seperti itu tidak perlu dilakukan, namun melihat pahitnya kenyataan yang ada, tidak heran jika sebenarnya apa yang dilakukan Lestaluhu menjadi penyalur emosi dan kekecewaan yang selama ini sudah kita rasakan.