Liverpool boleh bermimpi untuk meraih kejayaan ke-7 mereka di ajang Liga Champions. Pencapain tersebut juga akan memberikan raihan treble winner di musim 2021/2022 setelah sebelumnya mereka memenangkan piala Carabao dan Piala FA. Sayang, meski diunggulkan mayoritas pengamat dan pendukung sepakbola di seluruh dunia, lawan mereka di laga terakhir musim ini adalah tim yang absolut alias mutlak, merupakan tim terbaik dan spesialis di ajang Liga Champions.
Real Madrid, terlepas dari segala kekurangan dan pandangan negatif banyak orang, berhasil membuktikan dominasi mereka terhadap Liverpool, maupun tim unggulan lainnya di Liga Champions musim ini. 3 kali bangkit dari kematian, di laga final, Real Madrid tak perlu melakukan hal serupa dan secara sahih mengunci kemenangan ke-14 mereka di ajang ini dengan cara yang agung.
Sebagai seorang raja, Real Madrid tak melulu menunjukkan kehebatan mereka. Real memberikan Liverpool waktu untuk bermain-main hingga pada akhirnya mereka sadars sendiri bahwa hal tersebut hanyalah hal fana di bawah pengaruh dan kuasa sang penguasa Eropa. Meski mencatatkan 24 tembakan dimana 9 diantaranya mengarah ke gawang, Courtois tak juga tembus dan menunjukkan bagaimana sang raja tak semudah itu diruntuhkan oleh sekedar ekspektasi atau hitung-hitungan di atas kertas.
Hanya cukup 1 gol untuk menunjukkan betapa absolutnya tim yang identik dengan warna putih ini di ajang Liga Champions. Diprediksi akan berjalan dan menghasilkan banayk gol, laga ini menunjukkan bagaimana Real Madrid tahu betul bahwa sepakbola yang merupakan bidang kekuasaan mereka ini adalah permainan dengan skor kecil yang seringkali ditentukan oleh banyak detail-detail kasat mata. Sang pelatih Carlo Ancelotti pun membuktikan bagaimana puja-puji gaya permainan tiki-taka, gegenpressing, hingga bermacam jenis sepakbola indah lainnya tak banyak berarti di depan racikan sederhana miliknya yang tak banyak dihargai orang.
14 piala bagi El Real, dan 4 piala bagi Don Carlo. Jumlah terbanyak dalam sejarah bagi sebuah klub dan seorang pelatih yang menunjukkan bagaimana sebuah tim tak perlu berharap terlalu banyak saat menghadapi dua kombinasi ini. Tak peduli setajam apa trio Messi, Mbappe, Neymar hingga Salah, Mane, & Diaz, tak perlu menilik sekokoh apa tembok Virgil serta Alisson, tak menarik seindah apapun pola permainan Pep Guardiola, sebaik apapun tim lawan, seunggul apapun tim lain, Real Madrid di ajang gugur apalagi laga puncak Liga Champions UEFA adalah tim yang paling absolut dan tak terbantahkan. El Real selalu harus menjadi unggulan dan sejarah mengatakan, mutlak keluar sebagai yang terbaik.
Hingga kapan? Entahlah.
Rasanya sulit memasukkan banyak kategori secara bersamaan dalam menilai sebuah laga sepakboila. Logika dan akal sehat sulit menilai segala sesuatu secara objektif. Kombinasi keahlian, kerja keras, keberuntungan, mentalitas, sejarah, hingga gen bawaan dan karakter seluruh pemain hingga tim pelatih di Real Madrid ini memang sudah dibangun secara berbeda.