Tidak perlu dipertanyakan lagi almarhum Johan Cruyff merupakan seseorang yang akan mempengaruhi dunia sepakbola untuk selama-lamanya. Penemuan taktik total football miliknya telah merevolusi perkembangan pertandingan sepakbola serta menginspirasi begitu banyak orang yang bergerak di dalam dunia sepakbola.
Seperti yang kita tahu, salah satu pelatih berkebangsaan Belanda baru saja dipecat dari kursi kepelatihan Everton beberapa hari lalu. Pemecatan pria bernama Ronald Koeman ini menjadi satu dari beberapa cerita menarik yang memiliki benang merah dengan sang legenda Johan Cruyff. Selain sama-sama berkebangsaan Belanda, Koeman memang mengecap masa mudanya di Ajax dan berjaya bersama Barcelona saat masih berkarir sebagai pemain. Dan selain Koeman, ada pula nama Frank Rijkaard serta Frank de Boer yang juga sempar berkarir sebagai pemain sebelum dikenal sebagai pelatih sepakbola di masa kini.
Koeman, Rijkaard, dan Frank de Boer memiliki beberapa kesamaan akan nasib mereka setelah beralih profesi menjadi pelatih. Ketiganya sempat mengecap sukses sebagai seorang pelatih sebelum menemui banyak kegagalan di tim yang mereka latih berikutnya. Tentu kita tahu bagaimana Rijkaard menyumbangkan 2 buah gelar La Liga dan sebuah gelar Liga Champions bagi Barcelona. Belum lagi Lionel Messi yang ia didik dengan bantuan sang pemain bintang saat itu, Ronaldinho. Yang menarik, setelah melepas jabatannya dari Barcelona nama Rijkaard seakan tenggelam tak terdengar saat mengasuh Galatasaray dan tim nasional Arab Saudi. Bahkan jika ditilik lebih jauh, sebelum melatih Barcelona Rijkaard sempat membawa Sparta Rotterdam ke jurang degradasi untuk pertama kalinya.
Frank de Boer tidak jauh berbeda. Bersama Ajax ia mempersembahkan 4 gelar juara liga Belanda Eredivise. Setelahnya ia hanya bertahan selama 19 pertandingan ketika menukangi Inter Milan dan juga Crystal Palace.
Belum berhenti disitu, kita juga tahu bagaimana Louis Van Gaal hanya bisa terbilang sukses kala menukangi Bayern Muenchen sebelum akhirnya lebih banyak menjadi lelucon kala menukangi tim nasional Belanda dan Manchester United.
Cerita berlanjut ke Luis Enrique, sebagai salah seorang jebolan La Masia yang memiliki keterikatan kuat dengan Barcelona dan Cruyff ia gagal sebagai pelatih di AS Roma serta Celta Vigo sebelum meraih keberhasilan kala membawa Barcelona meraih treble di tahun 2015.
Koeman? Setelah meraih keberhasilan di tahun 2004 dan 2006 bersama Ajax dan PSV Endhoven, Koeman terbilang tidak sukses sebagai pelatih. Yang terbaru jelas ia membawa Everton terpuruk di zona degradasi setelah menghabiskan 140 juta Poundsterling pada bursa transfer musim panas lalu.
Apa yang menyamakan nama-nama diatas dengan Johan Cruyff?
Pertama, mereka semua memiliki DNA Barcelona dan filosofi sepakbola yang sama dengan Cruyff. Kedua, mereka semua sukses sebagai pelatih dalam sebuah tim yang memiliki DNA sama dengan Barcelona serta filosogi Cruyff. Sebut saja Barcelona sendiri, Ajax Amsterdam, Bayern Muenchen. Ketiga, mereka gagal ketika harus melatih tim yang memiliki filosofi berbeda dengan apa yang mereka pelajari semenjak masih aktif sebagai pesepakbola. Everton, Manchester United, Crystal Palace, Inter Milan, AS Roma, Galatasaray, hingga Celta Vigo jelas tidak mempunyai pemahaman filosofi sepakbola seindah Barcelona ataupun imajinasi permainan Cruyff.
Saat dihadapkan pada sebuah tantangan yang berbeda, mereka nampak kesulitan beradaptasi dan pada ujungnya menghadapi jalan buntu akibat tidak adanya kecocokana diantara filosofi serta gaya permainan. Bahkan mungkin, cara melatih mereka juga tidak bisa dibilang cocok untuk sebuah tim baru yang tidak memiliki dasar permainan cantik ala Barcelona, Ajax, ataupun tim nasional Belanda di masa lalu.
Meski demikian ada pula nama Pep Guardiola yang sukses membawa Manchester City sebagai kekuatan baru di sepakbola Eropa setelag berhasil bersama Barcelona dan juga Bayern Muenchen. Hanya saja, sebelum dilatih Guardiola pun City telah memiliki dasar permainan sepakbola yang telah dipoles sedemikian rupa semenjak akuisisi taipan minyak Arab di tahun 2009.
Memang tidak adil jika menilai seorang pelatih hanya dari kenerjanya atas satu klub tertentu. Bisa saja ia sukses di klub lain dan mengembalikan reputasi baiknya. Seorang pengemudi mobil balap belum tentu cocok jika harus mengemudikan sebuah bis sekolah. Benar bukan?
Terlepas dari segala cerita diatas, para pengikut jejak filosofi Cruyff mungkin harus lebih berhati-hati dalam menentukan arah karir mereka. Beberapa orang tentu akan tertawa ketika mendengar Koeman hanya berniat menjadikan Everton sebagai batu loncatan menuju karir kepelatihannya di masa depan.
Sungguh sayang, bukannya menjadi batu loncatan kini Everton lebih tepat disebut sebagai batu sandungan bagi karir seorang Ronald Koeman.
Atau mungkin berniat merubah filosofi dan kepercayaanmu akan imam besar Johan Cruyff ?
Bagaimana Koeman?
Sumber: The Guardian