Paris Saint Germain boleh punya pemain-pemain terbaik di dunia. Mereka juga mempunyai sumber dana luar biasa dari sang pemilik yang selalu menyokong segala upaya demi meraih gelar nomor satu di Eropa. Sayangnya, PSG sebagai sebuah unit tidak mempunyai DNA yang dimiliki guna menjadi penguasa Eropa layaknya sang lawan Real Madrid.
Berhasil unggul 2 gol karena aksi individu Mbappe, PSG terlihat begitu rapuh dan kebingungan di babak kedua. Praktis, banyak yang mengkritik bahwa Pochettino tak mempunyai rencana matang untuk menghadapi tekanan Madrid yang kian ngotot mengejar defisit gol. Kita bisa melihat bagaimana pemain senior seperti Modric dan Kroos bisa menguasai lini tengah PSG yang jauh lebih muda. Dan benar saja, tekanan tersebut disambut Donnaruma dengan blunder yang membawa Madrid mencetak gol pertama mereka melalui kaki Karim Benzema.
Berbeda dengan gol pertama yang berbau keberuntungan, gol kedua dan ketiga Benzema dicetak melalui aksi koletif Madrid yang juga didukung penampilan grogi PSG. Dalam jeda 1 menit, Benzema mencetak 2 gol cantik yang membawa Madrid berbalik unggul. Tendangan bebas Lionel Messi di menit injury time pun tak berhasil jadi pembeda dan gagal membawa PSG meraih mimpi mereka menjadi nomor satu di Eropa musim ini.
Semenjak membeli Neymar di tahun 2017, PSG sudah menggelontorkan segala daya dan upaya untuk meraih trofi si kuping lebar. Kini, bahkan pemain terbaik seperti Messi dan kiper potensial terbaik seperti Donnaruma pun gagal memberikan perbedaan berarti. Mbappe yang menjadi satu dari sekian nama besar di tim asal Paris ini pun sepertinya bakal segera merasakan atmosfir serupa bersama Real Madrid di masa depan, bukan PSG.
Pengalaman, daya juang, budaya klub, serta mentalitas dan DNA Eropa memang sudah melekat pada klub Real Madrid. 13 kali menjadi raja Eropa, Madrid membuktikan kelasnya melalui laga ini. PSG yang hanya bisa memimpikan trofi tersebut pun mau tak mau harus berani merombak ulang budaya klub yang nampak stagnan tanpa perubahan berarti dari segi penampilan di lapangan. Dari segi brand, PSG dengan kolaborasinya bersama Jordan jelas sudah membukukan catatan peningkatan yang impresif. Sayang hal tersebut tak diimbangi prestasi di lapangan. Keberhasilan mereka melaju ke final Liga Champions 2 musim lalu pun terjadi karena tidak adanya babak home & away karena pandemi COVID-19 yang masih sangat tinggi penyebarannya. Jika dilakukan dalam kondisi normal, bukan tidak mungkin PSG juga tidak akan melaju hingga partai puncak.
Presiden klub PSG, Nasser Al-Khelaifi diberitakan marah besar dan akan segera memecat Pochettino. Namun nampaknya, apapun hasilnya nanti, pemecatan dan pergantian pelatih tak seharusnya menyelesaikan titik permasalahan terpenting di tim ini.
Kejayaan memang tak selalu bisa dibeli dengan uang bukan? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.