Frank Lampard dan Ole Gunnar Solskjaer sama-sama masuk ke tim yang pernah menjadikan nama mereka besar sebagai pemain bahkan menjadi legenda hidup dari tim yang kini mereka duduki kursi kepelatihannya.
Lampard datang ke Stamford Bridge pada musim panas untuk menggantikan Maurizio Sarri yang hengkang ke Juventus. Solskjaer tetap dipertahankan manajemen Setan Merah setelah menggantikan Jose Mourinho pada Desember 2018 lalu.
Setelah kompetisi Premier League berjalan 11 pekan, nasib Lampard dan Solskjaer ternyata bak bumi dan langit. Lampard berkembang tetapi Solskjaer gagal.
Rasanya seperti sudah lama sekali ketika Manchester United asuhan Ole Gunnar Solskjaer menjebol gawang Chelsea empat kali di Old Trafford. Skuat Frank Lampard dihancurkan oleh Setan Merah pada hari pembukaan musim.
Namun, sejak itu, kampanye kedua tim berjalan ke arah yang berbeda. The Blues menuju ke atas, sementara Setan Merah tenggelam ke bawah. Faktor kunci dari kebangkitan Chelsea adalah pendekatan taktis Frank Lampard.
Legenda The Blues itu mulai bereksperimen dengan beberapa formasi di pramusim, termasuk 4-2-1-2, 4-3-3, dan 4-2-3-1. Namun, pada hari pembukaan, ia memilih untuk tetap memakai yang terakhir, memainkan Mason Mount sebagai pusat serangan. Mount unggul sejak awal, menekan dan menciptakan kekalahan di hari pembukaan Chelsea sebelum mencetak gol pertamanya di kandang melawan Leicester pada pertandingan berikutnya.
Namun, mantan gelandang Inggris itu tidak membiarkan formasi mendikte timnya. Lampard menunjukkan fleksibilitas dalam pendekatannya saat bermain dengan tiga pemain belakang melawan Wolves, pertandingan yang mereka menangkan dengan lima gol. Skema 4-3-3 dan 4-2-3-1 telah menjadi norma sejak itu, dengan keduanya bekerja secara efektif melawan berbagai jenis lawan.
Solskjaer, di sisi lain, kaku dalam pendekatannya. Pelatih asal Norwegia itu menggunakan 4-2-3-1 dengan Paul Pogba dan Scott McTominay dalam poros ganda untuk sebagian besar musim ini dan menolak untuk melakukan perubahan meskipun hasilnya buruk.
Pergantian singkat ke 3-5-2 membantu Manchester United meraih beberapa hasil. Tetapi tim kembali ke 4-2-3-1 melawan Bournemouth, yang memberi mereka kekalahan liga keempat pada musim ini.
Larangan transfer Chelsea membuat Christian Pulisic adalah satu-satunya kedatangan baru di Stamford Bridge musim ini. Pemain internasional Amerika Serikat itu dibeli dari Borussia Dortmund di bursa transfer Januari 2019, dengan The Blues terancam terkena embargo transfer. Pulisic tinggal di Jerman sampai akhir musim dengan status pinjaman.
Pemain internasional Amerika memutuskan untuk mengambil risiko kebugaran pertandingannya dengan melewatkan banyak istirahat pasca-musim. Dia bergabung dengan rekan satu tim barunya selama pra-musim dan diharapkan menjadi jimat baru Chelsea saat musim berjalan.
Namun, beberapa penampilan yang kurang bagus membuat Frank Lampard menaruh Pulisic ke bangku cadangan, sebelum mencoretnya sama sekali dari pertandingan Liga Champions melawan Lille. Namun demikian, pelatih kepala Chelsea memasukkannya ke skuad, memberinya menit menjelang akhir pertandingan untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.
Sebuah assist melawan Southampton menandai comeback-nya, sebelum momen gemilang melawan Ajax membuatnya mendapat tempat di tim utama. Pulisic menjadi start di liga lagi melawan Burnley dan mencetak hattrick yang sempurna.
Pemain sayap itu bukan satu-satunya yang mendapat manfaat dari man-management Lampard. Mantan gelandang itu sepertinya sudah meniupkan kehidupan baru ke pasangan yang saat ini menempati tempat lamanya – Jorginho dan Mateo Kovacic – dengan memberi mereka lebih banyak kebebasan untuk berkeliaran.
Willian, nomor sepuluh baru Chelsea musim ini, juga unggul dalam perannya di sayap dan baru-baru ini dinominasikan untuk penghargaan Pemain Terbaik Bulan Oktober.
Sekali lagi, man-management adalah area di mana Ole Gunnar Solskjaer berada di belakang Lampard. Dia belum bisa mendapatkan yang terbaik dari pasukannya, terlebih dengan para pemain seperti Fred, Andreas Pereira, Juan Mata, dan Jesse Lingard masih terus mengecewakan.
Sementara itu, skuad yang tipis juga belum membantu legenda Old Trafford tersebut, sehingga kesulitan mempertahankan Setan Merah di papan atas klasemen liga.
Sementara man-management dan fleksibilitas taktis adalah sesuatu yang harus ditanggung penuh oleh Ole Gunnar Solskjaer, ia bisa menyerahkan sebagian kesalahan atas integrasi pemain muda yang tidak berhasil kepada mereka yang duduk di atasnya.
Sebelum awal musim, sudah jelas bahwa Chelsea dan Manchester United akan memiliki lintasan yang sama. Tidak ada tim yang diharapkan untuk menantang gelar. Tetapi keduanya diminta memainkan sepak bola yang bagus menggunakan bakat lokal. Dalam 11 pertandingan, Lampard menjadi pemenangnya.
Tampilan baru Chelsea di bawah Lampard dibangun di atas talenta akademi, sebagian besar kredit yang harus diberikan kepada sistem pinjaman yang mendapat kritik. Setelah kepergian Eden Hazard, Frank Lampard merekrut Mason Mount, Fikayo Tomori, dan Tammy Abraham. Ketiga pemain muda itu memiliki banyak pengalaman tim utama, setelah membuat lebih dari seratus penampilan selama masa peminjaman.
Seperti disebutkan sebelumnya, ini adalah satu kegagalan yang dihadapi Ole Gunnar Solskjaer. Pergerakan klub di musim panas membuat pelatih kepala kekurangan pilihan di beberapa lini.
Yang paling menonjol, kepergian Romelu Lukaku dan Alexis Sanchez membuat Mason Greenwood harus masuk dengan cepat ke dalam tim utama, meskipun tidak punya pengalaman. Masih berusia 17 tahun, Greenwood terlihat kesulitan menyesuaikan diri dengan liga sepenuhnya, meskipun menunjukkan sekila bakatnya.
Brandon Williams, James Garner, dan Angel Gomes juga telah diberi kesempatan. Tetapi penampilan mereka sebagian besar hanya terbatas pada kompetisi piala. Solskjaer belum menggunakan servis mereka di liga.