Ansu Fati pada akhirnya kembali merumput setelah 323 hari menepi karena cedera yang Ia derita. Dalam kurun waktu nyaris 10 bulan tersebut, Fati juga diserahi nomor punggung baru yang dianggap sebagai nomor punggung dengan beban terberat di dunia sepakbola masa kini. Ya, nomor punggung 10 yang selama ini lekat dengan nama MESSI kini resmi berpindah tangan pada pemain berusia 18 tahun keturunan Guinea tersebut.
Pada laga menghadapi Levante kemarin (WIB), Fati masuk pada menit ke-81 dan tadinya hanya diturunkan guna mengembalikan ritme bermain serta mempertajam kondisi fisiknya yang mulai prima. Nyatanya, Fati juga berhasil mempersembahkan gol ke-3 bagi Barcelona di menit injury time. Tendangan jarak jauhnya membawa Fati seakan kembali diperkenalkan sebagai sosok baru yang akan memimpin langkah Barcelona di masa depan. Bersama Pedri, Puiq, Nico, Garcia, dan Gavi, Fati bisa saja membawa Barcelona kembali ke masa kejayaan mereka dengan bantuan beberapa pemain senior seperti Depay, Pique, Ter Stege, Alba, hingga De Jong yang usianya tak terlampau jauh.
Namun, apakah Fati bisa menjejaki level yang sama dengan Messi sang pemilik nomor punggung 10 sebelumnya?
Tidak adil memang membebankan pemain mana pun, di generasi apa pun, untuk mencapai apa yang selama ini Messi raih. Berada di level tertinggi selama 13 tahun lebih, level pemain asal Argentina ini dipercaya akan sulit diraih oleh pemain manapun. Meski tidak mustahil, membebani pemain muda seperti Fati dengan embel-embel di atas adalah suatu hal yang nampaknya akan lebih banyak memberikan efek negatif dibandingkan efek positifnya.
Sempat didera cedera serius sebelumnya, Fati perlu mempertahankan level permainannya dengan kesadaran penuh bahwa karir yang Ia miliki masih sangat panjang. Jangan sampai kondisi sulit Barcelona saat ini membuatnya jadi tidak sabaran dan bertindak gegabah hingga memaksakan kondisinya. Kita tahu benar banyak cerita yang berakhir menyedihkan perihal pemain yang terekspos terlalu berat di masa mudanya. Sebut saja kasus Jack Wilshere yang sempat kembali ramai belakangan ini. Atau mungkin ada nama Mario Gotze yang juga banyak diingat sebagai salah satu pemain yang ceritanya cukup menyedihkan.
Hal ini juga berlaku pada Pedri yang musim lalu bermain sangat intens. Mulai dari level klub hingga Piala Eropa dan ajang Olimpiade, Pedri bermain tanpa kenal lelah demi terus mempertahankan performanya di level tertinggi. Pemain muda seperti Fati dan Pedri perlu paham betul bahwa tiap pemain memiliki jalan mereka masing-masing. Cerita dan pencapaian di masa lalu hanya boleh memotivasi mereka dengan cara yang benar. Jika sudah salah jalan dan mengambil keputusan yang tidak tepat, bukan tidak mungkin lagi-lagi akan ada cerita yang dimulai dengan indah untuk lantas berakhir menyedihkan seperti banyak terjadi di masa lalu.
Paham kan dik Fati dan dik Pedri?