Moise Kean menjadi bahan pembicaraan yang hangat terdengar dalam beberapa hari terakhir ini. Caranya merayakan gol kemenangan ke gawang Cagliari ternyata berbuntut panjang. Isu rasisme yang selama ini berusaha diberantas nyatanya kembali memakan korban. Di Italia, kasus rasisme memang sering terjadi selama ini. Padahal, Moise Kean adalah pemuda berbakat asal Italia berusia 19 tahun yang sudah 3 kali membela tim nasional Italia meski memiliki keturunan darah Pantai Gading.
Bersama Juventus, Kean menjadi striker penolong saat Ronaldo mengalami cedera. Sepanjang tahun 2019, Kean tampil gemilang dengan mencetak 7 gol dalam 9 pertandingan. Melihat permainannya yang berbahaya di depan gawang, para pendukung Cagliari memusatkan seluruh cemoohan pada Kean dan dibalas dengan selebrasinya yang seakan menantang para pendukung Cagliari tersebut. Gawatnya, Kean melakukan hal tersebut di kandang Cagliari dan di depan tribun para pendukung tuan rumah.
Hal ini jelas berbuntut panjang apalagi setelah Bonucci memperkeruh suasana dengan komentarnya yang seakan tak mendukung rekan setimnya sendiri usai pertandingan. Matuidi sendiri geram melihat aksi rasisme tersebut tak mendapat pembelaan dari rekan setimnya sendiri. Apalagi kita harus ingat bahwa Kean merupakan seorang anak muda yang bahkan belum dewasa. Wajar rasanya melihat Kean bahkan harus sampai bersuara di akun Instagramnya. Kekesalannya Ia tumpahkan dengan memposting foto selebrasi dirinya dengan kalimat “The best way to respond to racism #notoracism”.
Kean mendapat banyak dukungan moral dari rekan-rekan seprofesinya seperti Sterling, Depay, Pogba, hingga Balotelli. Bahkan Balotelli juga jadi pemain Italia yang paling sering menerima ejekan bernada rasisme. Kean diketahui mengidolai Balotelli dan bahkan pernah mengikuti gaya selebrasi Balo yang mengenakan kaos bertuliskan “Why always me?” serta selebrasi membuka seragam lalu memamerkan masa otot tubuhnya.
Kean jelas masih memiliki karir yang panjang. Aksis rasisme memang tak boleh kita tolerir namun munafik rasanya jika Kean berharap aksi tersebut takkan Ia temui lagi di kelanjutan karirnya. Demi kebaikan bersama, Kean harus tahu cara mengatur ekspektasinya di atas lapangan. Karena jika tidak hati-hati, bisa saja nasibnya akan sama seperti Balotteli yang hanya sampai pada batas calon bintang masa depan tanpa pernah menjadi bintang yang sesungguhnya sampai saat ini.
Keberanian Kean pantas kita apresiasi dan layaknya menjadi satu teguran keras bagi para penikmat sepakbola yang nampak masih kurang memiliki akal sehat saat mendukung tim kesayangan mereka masing-masing. Kita selayaknya harus memberikan dukungan serta membiarkan kebahagiaan mengalir dalam jiwa seorang pemuda berusia 19 tahun yang begitu mencintai sepakbola tersebut.
Katakan tidak pada rasisme!