Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir kembali ke lapangan dan mengikuti Denmark Terbuka Super Series Premier setelah memenangi medali emasi di Olimpiade dan langsung terjatuh di babak 16 besar.
Tontowi/Liliyana tampil sempurna di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 lalu. Dalam perjalanan mereka meraih emas, Tontowi/Liliyana selalu mengalahkan lawan tanpa butuh rubber game.
Namun di laga melawan Wang Yilyu/Huang Dongping keperkasaan Tontowi/Liliyana seolah sirna. Mereka takluk 18-21, 21-19, 17-21 dalam duel yang berlangsung selama lebih dari satu jam itu.
Setelah Olimpiade selesai di akhir Agustus, otomatis hari-hari Tontowi/Liliyana adalah hari perayaan. Berbagai acara di beberapa kota mereka jalani. Bahkan bulan September bisa dibilang mereka benar-benar lepas dari bulu tangkis.
Dengan demikian, waktu persiapan mereka untuk menghadapi Denmark Super Series Premier sangatlah sempit. Padahal dengan kondisi vakum satu bulan, sebelum melakukan persiapan, mereka tentu harus lebih dulu mengembalikan kondisi ke level all out sebagai atlet dari segi kebugaran tubuh.
Minimnya waktu ditambah pula fakta bahwa usia Tontowi dan Liliyana tak lagi muda sehingga pemulihan kebugaran tentu tak mudah diperoleh kembali dalam waktu singkat.
Belum lagi berbicara masalah fokus dan konsentrasi Tontowi/Liliyana yang masih berada di titik rendah usai tampil di Olimpiade.
Olimpiade 2016 jelas merupakan titik tertinggi dan fokus utama mereka untuk tahun ini, bahkan mungkin dari empat tahun lalu selepas kegagalan mereka di London.
Wajar saja bila fokus mereka tak lagi berada di titik tertinggi setelah target besar mereka tercapai.
Hasilnya terlihat di lapangan. Rotasi Tontowi/Liliyana tak ada di level terbaiknya, kehebatan Liliyana di depan net tak konstan terlihat sepanjang laga, dan kemampuan Tontowi melakukan serangan dari belakang tak sedahsyat biasanya.
Yang terpenting untuk diapungkan, sejatinya bukan alasan Tontowi/Liliyana bisa kalah dari ganda campuran muda asal China.
Yang terpenting adalah melihat bagaimana Tontowi/Liliyana tetap memandang turnamen ini sebagai hal yang vital meski mereka sudah mengantongi semua gelar bergengsi yang ada.
Tontowi/Liliyana tetap ngotot saat tertinggal 12-17 di gim kedua dan sukses memaksakan terjadinya rubber game. Mereka tetap bersorak gembira saat poin ada di tangan mereka, dan terlihat kecewa setiap poin jadi milik lawan.
Tontowi/Liliyana tentu tidak mengharapkan kekalahan namun minim persiapan membuat hal itu tak terhindarkan.
Tontowi/Liliyana adalah atlet bulu tangkis dan bukan atlet tinju dunia.
Petinju, bila mereka kalah di laga berikutnya setelah jadi juara dunia, maka mereka kehilangan sabuk juara dunia tersebut. Tidak demikian halnya dengan Tontowi/Liliyana.
Kekalahan di Denmark pasti tak akan menghapus keberhasilan medali emas di Rio de Janeiro dua bulan sebelumnya.
Perjalanan pasca-Olimpiade 2016 sejatinya merupakan sekadar ‘bonus’ bagi Tontowi/Liliyana.
Target besar bisa kembali dibebankan pada mereka saat tahun 2017 telah berjalan, meskipun target besar yang ada sudah sepatutnya pula didistribusi merata pada junior-junior mereka.
Sumber foto: liputan6.com