Kini tangan-Ku sudah kembali berpulang.
Itulah kutipan yang menggambarkan bagaimana Diego Armando Maradona adalah sosok yang begitu kompleks. Di hari kepulangannya, Ia masih saja mampu membuat banyak orang tergetar, tersenyum, dan makin cinta pada sosok kontroversialnya semasa hidup. Di usia 60 tahun, Maradona menghembuskan nafas terakhir dikarenakan serangan jantung mendadak yang dialaminya.
Tak perlu berbasa-basi menuliskan sepak terjangnya selama ini. Piala Dunia 1986 akan selalu abadi karena nama Maradona. Publik Inggris boleh membencinya karena bantuan tangan tuhan tapi tentu tak bisa luput mengapresiasinya atas gol terbaik abad ke-20 atau mungkin, kita sebut saja gol terbaik sepanjang masa 4 menit berselang.
Warga Naples boleh dianggap tak waras karena menganggap Maradona sebagai Tuhan di kota mereka. Namun, bagaimana mereka bisa bertindak waras saat salah satu sosok terpenting yang merubah hidup mereka ini memberikan lebih dari sekedar trofi tapi juga kebanggaan dan mimpi bagi generasi berikutnya?
Maradona adalah sebuah kisah tak sempurna. Namun, menganggapnya sebagai sebuah kisah yang paling sempurna juga tak sepenuhnya salah. Maradona takkan jadi kisah sempurna jika kita melihatnya dari kacamata manusia biasa. Hidupnya kacau balau karena kecanduan narkotika, wanita, dan juga gemerlap harta. Ia pun mungkin terhitung hanya berada pada puncak permainannya selama 4-5 musim. Tentu tak sebaik Messi yang dengan luar biasanya mampu bertahan di puncak tertinggi hingga 12 tahun lamanya bahkan lebih.
Lalu bagaimana dengan kisahnya yang sempurna? Mari kita pasang kacamata kita yang lain. Sebagai manusia pada umumnya, Maradona bisa kita pastikan telah melakukan dan mengalami segala hal yang biasanya hanya jadi imajinasi liar manusia-manusia lain. Ia telah mengalami masa kecil yang menyedihkan dan menjalani masa pensiun yang bergelimang harta. Semenjak dini, Maradona juga dibanjiri popularitas yang tak wajar. Aksinya saat melakukan pemanasan saja bisa menyihir puluhan hingga ratusan ribu penonton sebelum pertandingan. Ia meraih puncak tertingginya di ajang Piala Dunia dan juga mencoreng namanya dengan aib terbesar pada ajang yang sama. Pelukan wanita cantik dari berbagai penjuru dunia pun sudah Ia rasakan hingga memicu kasus perselingkuhan hingga keranjingan pesta dan juga obat-obatan terlarang. Ia mempunyai gereja yang memuja dirinya sebagai Tuhan di beberapa penjuru bumi. Di masa tuanya, Ia bahkan membawa timnas Argetina berlaga di ajang yang menasbihkan namanya sebagai salah satu yang terbaik. Bahkan, pada akhir hayatnya, nama Maradona abadi setelah dijadikan nama stadiun baru bagi Napoli.
Kalau masih belum percaya akan kegilaan yang dialaminya semasa hidup, coba saja cari kumpulan foto Maradona di internet. Kalian akan dengan mudah menemukan begitu banyak gambar-gambarnya dalam berbagai kondisi serta kejadian. Tentu hal ini tak mudah dilakukan jika kita menuliskan nama pesepakbola lainnya. Ia mengalami semuanya sebagai sosok manusia biasa. Dan tentu saja hal tersebut sangatlah normal. Nampaknya tak ada yang perlu Ia sesali saat menghembuskan nafas terakhir di usianya yang ke-60. Pada akhirnya tubuh Maradona tetaplah sosok daging yang tak abadi meski lain cerita dengan namanya yang dianggap kekal.
Jurnalis dan penulis asal Inggris, Piers Morgan menuliskan pemikirannya tentang kepergian Maradona dengan sangat baik melalui media Twitter.
“I’m reading a lot of nonsense about ‘tragedy’ of Diego Maradona. There was nothing tragic about him – he was one of the greatest sportsmen in history, beloved by millions, and lived his life to the full parameters of fun and craziness. He didn’t die wondering. Most do.”
Jarang-jarang saya satu pemikiran dengan sosok berusia 55 tahun di atas. Well said Piers.
Terima kasih Maradona. Meski tak sempat menyaksikan aksi indahmu secara langsung, cerita tentang kisah perjalananmu takkan berakhir sampai di sini. Ceritamu akan selalu abadi selama manusia masih ada di muka bumi.
Rest in power dios.