Presiden FIFA, Gianni Infantino dan penasihatnya, Arsene Wenger tengah mencanangkan kelangsungan Piala Dunia sepakbola dalam kurun waktu 2 tahun sekali. Sehormat-hormatnya saya dengan Wenger, saya menentang keras wacana ini. Sungguh konyol dan tragis andai hal di atas benar terjadi bagi generasi mendatang.
Sepakbola yang semakin dikuasai pengaruh uang tentu akan menjadi topik hangat utama jika Piala Dunia benar terjadi 2 tahun sekali. Pemilihan tuan rumah dan banyak agenda lainnya tentu akan lebih menguntungkan para petinggi serta pihak-pihak terkait penyelenggaraan acara akbar tersebut. Bayangkan saja uang yang didapat panitia, pemegang hak siar, hingga penjualan merchandise yang akan terus berputar lebih cepat?
Sepakbola itu ada di setiap harinya. Seperti yang saya kutip dari artikel milik mantan kapten timnas Jerman Phillip Lahm, sepakbola bisa kita temui dari pelosok terdalam hingga ke tempat paling komersil di dunia dari pagi hingga malam hari. Mulai dari menyaksikan para anak jalanan bermain hingga menyaksikan para pemain terbaik dunia berlaga secara langsung, melalui rekaman ulang di Youtube, hingga berjuta pembahasan tentang sepakbola dan hal terkait di dalamnya setiap hari di sosial media. Singkat kata, sepakbola tak pernah beristirahat dan semua tergantung kita untuk bisa menahan dan mencukupkan diri dari olahraga paling populer ini.
Bagi para pemain dan penikmat sepakbola, Piala Dunia adalah sesuatu yang sakral. Tak sedikit cerita masa kecil, kenangan yang tertanam, sampai pengalaman terpahit dan termanis kita ceritakan dengan medium turnamen Piala Dunia di masa lalu sebagai acuannya. Banyak yang jatuh cinta dan benar larut ke dalam dunia ini karena ajang Piala Dunia yang bergulir secara luar biasa setelah lama kita nantikan. 4 tahun tentu bukan waktu yang terlalu lama meski terkadang rasanya sungguh lewat dalam sekejap saja.
Hal-hal yang penuh romansa pun akan hilang andai Piala Dunia atau Piala Eropa bergulir terlalu cepat. Tim-tim seperti Yunani contohnya, takkan bisa menikmati keajaiban keluar sebagai raja Eropa selama 4 tahun. Sejarah yang mereka ciptakan dan momen epik tersebut akan cepat berlalu tanpa terlalu berbeda dengan ajang antar klub yang dipertandingkan setiap tahunnya. Spanyol takkan secara luar biasa menjadi puncak dari permainan sepakbola selama 4 tahun di medio 2008, 2010, dan 2012. Momen-momen magis yang seringkali dijadikan sebuah cerita klasik pun takkan lagi semenarik itu andai terjadi dalam kurun waktu yang terlalu cepat.
Berbeda dengan membela klub, membela panji negara adalah suatu hal yang spesial. Thiery Henry berujar bahwa membela negara bukan bicara tentang bekerja untuk mendapatkan uang atau sekedar berjuang menaikkan nama baik negara. Beban yang mereka tanggung seringkali tak main-main hingga bisa menyebabkan perpecahan antar bangsa atau terbunuhnya seorang pemain secara tragis. Tentu saja hal ini dibarengi denga bermunculannya banyak bintang baru dan cerita manis lainnya selama kurang lebih 1 bulan turnamen berlangsung.
Selain itu, pihak tuan rumah sebagai negara penyelanggara juga akan menghadapi beban yang tak ringan. Selain Piala Eropa, Asia, dan turnamen antar benua lainnya, Piala Dunia jelas punya skala dengan tingkatan selevel lebih tinggi. Tentu kita tak lupa apa yang terjadi dengan Brazil di tahun 2014. Belum lagi ajang seperti Olimpiade yang juga tak berhenti andai wacana Piala Dunia 2 tahunan ini dilaksanakan.
Sepakbola dan semua cerita seru ini perlu jeda. Jika kita terlalu sering merayakan hal yang seharusnya jarang ini, saya khawatir sepakbola takkan lagi semanis biasanya. Bahkan mungkin akan lebih banyak menimbulkan rasa pahit karena dilakukan secara berlebihan dan tak lagi mengutamakan perasaan senang bermain sepakbola seperti yang kita rasakan saat pertama kali menendang bola dengan kaki ini.
Jangan sampai wacana ini benar terealisasi. Jangan sampai.