Kasus rasisme terutama bagi para pemain dengan kulit berwarna atau pemain dengan darah campuran bukanlah suatu hal asing dalam dunia olahraga sepakbola. Bagi yang belum familiar, mungkin kalian bisa melihat kasus yang terjadi pada Zidane dan Matterazi di tahun 2006 silam. Atau jika tak mau melihat ke belakang terlalu jauh, ada kasus Patrice Evra serta Luis Suarez yang menggemparkan Liga Inggris beberapa musim lalu.
Sayangnya, saat kita bisa mengusut tuntas para pelaku di lapangan hijau, sulit rasanya jika teriakan rasisme ini dilakukan oleh para penonton atau pendukung sebuah tim. Hukuman yang seringkali hanya menyedarai satu atau beberapa pihak individu dianggap tak lagi mempan setelah kasus yang sama terus berulang dan berulang. Bahkan beberapa media ternama di Inggris tak lepas dari amukan publik berkat komentar dan tulisan bernada berat sebelah terutama saat memberitakan cerita pemain berkulit gelap di tanah Inggris.
Raheem Sterling adalah contoh nyata dari korban yang berani bersuara dan menentang rasisme dalam beberapa waktu terakhir. Penampilan gemilangnya sepanjang musim 2018/2019 membuatnya kian dicintai publik dan membuat suaranya lebih didengar perihal kasus rasisme yang sering menerpanya. Setelah dicemooh oleh beberapa pendukung Chelsea, kini giliran para pendukung tuan rumah Montenegro yang melakukan tindakan rasisme pada Sterling serta beberapa pemain tim nasional Inggris.
Pada pertandingan kualifikasi Piala Eropa 2020 tersebut, Inggris menang besar dengan skor 1-5 dan Sterling mencetak gol terakhir Inggris di menit ke-80. Sterling pun lantas melakukan selebrasi dengan gaya memegang telinga menyerupai monyet sebagai balasan atas apa yang diteriakkan para pendukung tuan rumah sepanjang pertandingan. Bukan hanya Sterling, Danny Rose dan Hudson – Odoi juga menjadi sasaran teriakan bernada rasis selama pertandingan. Bahkan Rose dicemooh dengan teriakan pendukung tuan rumah yang menirukan suara monyet. Hudson – Odoi, pemain berusia 18 tahun yang tampil gemilang padahal baru menjalani debut pertamanya sebagai pemain utama bersama Inggris pun harus rela penampilannya tertutup kasus rasisme yang malah jadi sumber utama pembahasan berita usai pertandingan.
Kasus rasisme dari pihak pendukung harus ditindak tegas oleh UEFA. Meskipun tak semua pendukung melakukan hal tersebut, rasanya hukuman yang disetarakan langsung kepada sisi salah satu pendukung harus dilakukan. Jangan hukum beberapa individu saja tapi langsung berikan larangan datang ke stadion pada seluruh pendukung. Setidaknya hal ini akan membuat mereka lebih panjang dalam berpikir sebelum melakukan hal bodoh dan tak terpuji seperti diatas.
Sterling sebagai pemain yang sangat sering dijadikan sasaran tembak pun memberikan contoh yang patut ditiru oleh seluruh korban rasisme di dunia olahraga, tak hanya sepakbola. Keberanian Sterling untuk bersuara memberikannya banyak dukungan dari berbagai pihak. Sterling rela menjelaskan apa yang selama ini terganjal di dalam hatinya dan berusaha keras menyuarakan kesetaraan dalam dunia olahraga. Bahkan, suara perlawanannya diimbangi oleh penampilan fenomenal diatas lapangan. Hal tersebut jelas menjadi nilai tambah yang membuat para pendukungnya semakin mencintai dirinya, dan para pembencinya hanya bisa gigit jari sambil memikirkan serangan berikutnya.
Apapun itu bentuknya, sepakbola adalah olahraga paling dikenal dan paling terkenal di seluruh dunia. Keberagaman serta perbedaan yang selama ini adalah yang memberikan sepakbola sebuah panggung drama serta cerita yang hingga kini tak mampu disaingi oleh cabang olahraga manapun.
Dan itulah alasan mengapa kita harus menghapus semua tindakan rasisme ini. Karena tanpa satu atau dua pihak saja, sepakbola takkan pernah menjadi besar dan ternama seperti sekarang ini.
Bukankah kita semua hanya dibedakan oleh rupa dan warna kulit saja? Ingat, kita hanyalah manusia berdosa yang sama – sama memiliki warna tulang dan darah yang sama.