Leicester City mengejutkan seantero dunia saat pada musim 2015/2016 lalu berhasil menjadi juara di liga yang kata banyak orang merupakan yang paling kompetitif di seluruh Eropa, bahkan dunia. Bersama Claudio Ranieri, Leicester menunjukkan bahwa pepatah bola itu bundar tidaklah salah. Kerja keras, semangat, determinasi, serta darah yang dicurahkan oleh Leicester musim lalu membawa simpati seluruh pecinta sepakbola dunia terutama para penikmat sepakbola netral saat itu. Mereka menjungkirbalikkan pasar taruhan yang menempatkan mereka di posisi 5000:1 untuk keluar sebagai juara.
Bermain bermodalkan semangat dan disiplin yang tinggi pada musim lalu, musim ini Leicester seakan kehilangan pesona mereka. “Kami tahu kami harus mengembalikan performa kami di musim lalu. Kami tidak lupa cara memainkannya, namun pada nyatanya kami tidak dapat melakukannya di lapangan. Sangat sulit untuk menaikkan level permainan kami setelah apa yang terjadi musim lalu”, tutur Leonardo Ulloa dalam wawancara yang ia lakukan beberapa hari lalu.
Leicester hanya terpaut 2 poin dari zona degradasi dan kini sementara hanya bercokol di posisi ke-16 klasemen Liga Inggris. Mereka hanya mampu meraih 3 kemenangan serta 4 hasil seri dalam 14 pertandingan mereka di Liga Inggris sejauh ini. Jamie Vardy dan Riyad Mahrez yang musim lalu bagai manusia super menebar teror ke seluruh penjuru lapangan kini seakan kembali menjadi manusia bumi selayaknya. Ketangguhan Wes Morgan serta Robert Huth seakan sirna bak kehilangan sihirnya.
Menghadapi Manchester City pada akhir pekan ini, kemungkinan Leicester akan kembali menjadi bulan-bulanan jika mereka tidak berbenah. Kekalahan minggu lalu menghadapi Sunderland yang tengah dilanda krisis kemenangan jelas menjadi pukulan mental yang cukup telak bagi Leicester.
Hal ini diperparah dengan gosip yang mengatakan bahwa beberapa pemain seperti Ulloa meminta ijin kepada Ranieri untuk dijual pada bursa transfer Januari mendatang. Kedatangan pemain baru seperti Ahmed Musa dan Islam Slimani yang seharusnya mendatangkan berbagai aspek positif kini berbalik menjadi bumerang apalagi di kala performa tim tengah menukik tajam seperti apa yang dirasakan Leicester musim ini. Belum lagi beberapa pilar utama seperti Slimani dan Mahrez akan absen selama periode Januari – Februari mengingat mereka akan membela Aljazair di Piala Afrika 2017 mendatang.
Meski tidak diunggulkan untuk mempertahankan gelar juara, setidaknya para pengamat memprediksi bahwa Leicester akan tetap masuk ke dalam posisi 10 besar pada akhir musim. Namun, melihat performa mereka di Liga saat ini, untuk menghindari zona degradasi saja sudah menjadi hal yang patut disyukuri oleh Leicester.
Setelah melakukan the great escape di penghujung musim 2015/2015, menjadi juara secara mengejutkan di musim 2015/2016, bisa jadi musim 2016/2017 ini akan menampilkam kisah baru bagi perjalanan panjang klub bernama Leicester City ini.
Melihat perputaran roda yang begitu drastis dalam beberapa tahun terakhir ini, jangan kaget andaikan Leicester City yang justru tampil baik dengan lolos ke babak 16 besar Liga Champion sebagai juara grup akan memberikan kejutan baru di laga-laga Eropa mereka selanjutnya.
Dan andai mereka berhasil melakukan apa yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya, jangan pula kita kaget melihat mereka menjadi juara bertahan pertama yang harus menderita turun ke ranah liga Championsip di musim berikutnya.
Leicester mengajarkan kita bahwa benar tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia sepakbola.
Kalau kata kakek, apapun bisa saja terjadi, soalnya bola itu bundar.