Parma kembali berkiprah di Serie A dalam dua musim terakhir. Namun, Parma saat ini sangat berbeda dibandingkan dengan era 90an, tepatnya tahun 1992 hingga 2002.
Parma kala itu dikenal sebagai tim bertabur bintang. Tim yang bermarkas di Stadion Ennio Tardini itu terbiasa bersaing di zona papan atas Serie A dan tak jarang meraih gelar.
Parma memang belum pernah meraih Scudetto. Capaian terdekatnya pada musim 1996/1997 saat Parma harus menerima peringkat 2, terpaut dua poin dari sang juara Juventus. I Gialloblu meraih prestasi terbaik domestik saat meraih tiga gelar Piala Italia dan Piala Super Italia.
Di kawasan Eropa, Parma berhasil menancapkan kuku sebagai salah satu tim yang disegani. Tim yang identik dengan warna kuning dan biru itu dua kali juara Piala UEFA, satu kali juara Piala Winners, dan juara Piala Super Eropa pada 1993.
Kesuksesan Parma tidak lepas dari peran Parmalat, perusahaan Italia milik Calisto Tanzi yang memproduksi susu dan makanan. Gelontoran uang dari Parmalat membuat Parma leluasa mendatangkan pemain bintang.
Di bawah mistar gawang Parma sempat diperkuat legenda sepak bola Italia, Gianluigi Buffon. Buffon merupakan pemain binaan akademi klub sebelum diboyong Juventus.
Nama-nama tenar macam Nestor Sensini, Fabio Cannavaro, Fernando Couto, dan Lilian Thuram juga pernah memperkuat lini belakang Parma. Tak ketinggalan pula pemain seperti Juan Veron, Dino Baggio, Alain Boghossian, dan Tomas Brolin di lini tengah.
Lini depan Parma juga tidak kalah mengilap. Penyerang mungil Gianfranco Zola sempat berseragam Parma selama tiga musim. Selain itu, ada pula penyerang lain yang haus gol seperti Enrico Chiesea, Faustino Asprilla dan Hernan Crespo.
Sederet nama-nama tenar di atas bisa tampil menawan berkat racikan taktik Nevio Scala, Carlo Ancelotti, hingga Alberto Malesani. Scala sendiri merupakan pelatih yang berperan penting di balik keberhasilan Parma promosi ke Serie A pada 1990.
Dengan dana melimpah, pelatih jempolan, dan skuat bertabur bintang, Parma dalam 10 tahun berhasil meraih sembilan trofi. Mulai dari gelar di kompetisi domestik hingga turnamen benua Biru.
Parma yang tergolong anak baru di Serie A juga menjelma sebagai tim kandidat scudetto di setiap musimnya. I Gialloblu bersaing dengan tim-tim yang punya tradisi besar seperti Juventus, AC Milan, Inter Milan, AS Roma, Lazio, hingga Fiorentina.
Namun, masa-masa jaya Parma itu memudar seiring kepergian para pemain bintangnya. Puncaknya pada April 2004, Parma dinyatakan pailit setelah krisis yang dialami Parmalat sebagai penyokong utama tim. Sang pemilik Tanzi terbelit skandal finansial dan Parma yang jadi kekuatan besar di Italia langsung oleng.
Pengelolaan keuangan yang buruk dan terlilit hutang hingga 218 juta euro, membuat Parma diturunkan ke Serie D atau kompetisi kasta keempat Negeri Pizza.
Meski sempat terpuruk, Parma hanya butuh tiga tahun untuk terus naik kasta hingga akhirnya menggenggam tiket promosi ke Serie A tahun 2018.
Sumber foto: getfootballnewsitaly.com