Lionel Messi kini resmi berseragam Paris Saint Germain, setidaknya untuk 2 musim ke depan. Kedatangan Messi tentunya kian menaikkan gairah para pendukung PSG untuk meraih segala bentuk trofi yang berpeluang mereka raih musim depan. Terlalu muluk? Di atas kertas, tim yang memiliki Messi, Neymar, Mbappe, Ramos, Wijnaldum, Di Maria, Verratti, Hakimi, hingga Donnaruma sangat layak dibebani ekspektasi untuk meraih segalanya.
Namun, sepakbola tak selalu berakhir berdasarkan prediksi di atas kertas. Trio lini serang MNM (Mbappe, Neymar, Messi) yang disokong oleh Angel Di Maria serta Mauro Icardi memang tampak mengerikan jika kita bayangkan. Masalahnya, apakah lini depan yang mengerikan ini bisa memberikan keseimbangan pada keseluruhan bentuk permainan tim selama satu musim penuh? Belum lagi adanya Hakimi yang didatangkan dengan mahal untuk mengisi posisi wingback kanan PSG. Hakimi dikenal memiliki gaya bermain yang ofensif dan kedatangan Messi (apalagi jika Ia bermain di posisi sayap kanan) tentu kian memberikan beban pada lini tengah dan belakang PSG yang dijamin sangat terbuka.
Opsi memainkan Messi sebagai attacking mildfield juga tak sepenuhnya menjadi jawaban. Kurangnya 1 pemain di lini tengah bisa membuat permainan PSG sulit berkembang apalagi jika harus mengorbankan Wijnaldum atau Verratti yang digantikan dengan pemain bertipe bertahan seperti Marquinhos. Di lain sisi, tidak memainkan Hakimi juga akan menjadi hal yang mubazir setelah gelontoran dana yang dikeluarkan untuk merekrut pemain muda berbakat tersebut. Tentu memaksa Hakimi bermain tanpa bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Tak banyak pemain yang bisa melakukan perubahan tersebut dalam tempo cepat meskipun sang pemain masih berusia muda.
Hal ini memberikan sebuah gambaran bahwa sebenarnya pekerjaan Pochettino jauh dari kata mudah. Saat Ia sendiri mungkin belum bisa membayangkan komposisi terbaik dari tim yang Ia latih, ekspektasi publik sudah menempatkannya pada kursi panas. Meraih semua trofi tanpa memenangkan trofi Liga Champions, Pochettino sudah pasti akan di cap gagal oleh banyak pihak. Pertanyaannya, bagaimana jika yang terjadi malah sebaliknya. Bagaimana andai PSG mengorbankan semua kompetisi lain dan menaruh 100% fokus pada ajang Eropa? Lantas, apakah memenangkan trofi si kuping besar saja mampu memberikan cap kesuksesan bagi PSG terutama Messi dan Pochetinno musim depan?
Maka dari itu, tantangan sebenarnya yang harus dijawab akan sangat tergantung pada pertanyaan di atas. Jika bisa memberikan kejelasan akan ekspektasi sebenarnya dari PSG musim ini, niscaya kita akan lebih objektif dalam melakukan segala penilaian dari kacamata yang lebih luas. Toh bisa menciptakan pola bermain seperti Barcelona di era Pep, Bayern di era Jupp Heynckes, serta Liverpool di tahun 2018-2020 saja sudah bisa dinilai sukses bagi beberapa pihak. Sepakbola itu memang kadang harus dinikmati saja tanpa harus memikirkan apa yang belum tentu bisa kita raih di akhir musim.
Pahitnya, kedatangan para superstar ke PSG musim tak memberikan opsi tersebut kepada para oknum di dalamnya. Semua kembali lagi pada jenis pertanyaan sebenarnya yang perlu diperjelas guna menimbang keberhasilan PSG di akhir musim yang baru ini.
