Secara kompetisi, DOTA 2 sudah memasuki usia satu dekade. Kancah ini sudah melahirkan veteran dan legendanya sendiri, beberapa sudah memutuskan pensiun tak lama kemarin seperti PPD dan Universe. Meski masih ada juga aktif bersaing di pertarungan level elit seperti Puppey di tim Secret.
Tak mau ketinggalan oleh Puppey, kompatriotnya di jaman The International 1, Dendi juga membuat timnya sendiri bernama B8. Dengan asa dan pengalaman yang Dendi punya, ia berharap bisa membawa B8 menciptakan rekor, sayangnya bukan rekor positif yang mereka toreh.
Baru-baru saja, Dendi dan B8 kedapatan menuai rentetan hasil negatif, bahkan yang terpanjang dalam sejarah kompetisi DOTA 2. Dari tanggal 17 April silam sampai 5 Mei kemarin, B8 telah kalah di 24 pertandingan. Hasil tersebut mereka dapat dari berbagai ajang seperti Epic Prime League dan WePlay! Pushka League.
Dendi sudah kelu kemenangan sejak 8 April lalu, kemenangan terakhir mereka ESL One Los Angeles Online. Bahkan, dengan nama besar seorang Dendi, timnya tetap jadi bulan-bulanan oleh pesaing tier 2 lainnya di region CIS.
Apa yang terjadi? Apakah Dendi memang tidak sehebat dulu? Menjaga karir DOTA 2 tetap mentereng bukanlah hal mudah. Dendi patut di apresiasi karena tidak menyerah mengejar cita-citanya untuk kembali jadi pemain hebat seperti masa lalu.
Namun, waktu berganti seiring gameplay DOTA 2 , Dendi tetap pemain yang sama. Mantan pemilik titel gamer pro terkaya ini tidak beradaptasi dengan meta. Cara bermain Dendi hampir sama dari dulu hingga sekarang. Wajar kalau ia tertinggal oleh pemain baru yang kian agresif.
Tentu, Dendi menginspirasi banyak orang dengan kekhasan bermainnya. Bahkan, ciri playmaker seperti Dendi bisa kita temukan di midlaner macam Topson, Sumail atau MidOne. Tapi, ketiga ikon mid masa kini tersebut tak cuma piawai dalam melakukan rotasi, mereka kuat dalam laning dan eksplosif.
Hal-hal tersebut yang tampaknya tak dimiliki Dendi. Seiring bertambahnya usia, Dendi mungkin tak bisa sekreatif dulu meski kelincahan tangannya masih tetap sama. Namun, DOTA 2 adalah permainan yang lebih membutuhkan respon berpikir cepat ketimbang reflek jemari yang kepalang gesit.
Minimnya prestasi yang Dendi raih saat ini bersama B8, bukan tak mungkin ia berpikir dua kali untuk melanjutkan karirnya. Hal terbaik yang bisa Dendi lakukan adalah mencoba hal baru, beradapatasi layaknya midlaner seangkatannya yang kini sudah jadi offlaner. Takdir terburuk yang bisa Dendi tuai adalah kehilangan percaya diri sebagai pemain profesional dan akhirnya membubarkan organisasi bentukannya.