Years on from that agonizing World Cup in Maracana.
–
Mau menang atapun kalah, bagi banyak orang Messi tidak akan pernah layak menjadi the greatest of all time (GOAT). Pengecualian tentu harus diberikan jika kemenangan yang diraih bersama timnas Argentina dilakukan di pentas Piala Dunia.
Diksi kehidupan selalu berputar melalui banyak persepsi dan tentunya preferensi yang beragam. Momen-momen sakral tiap insan juga pastinya berbeda dan mengakibatkan pemahaman yang kian beragam. Dan inilah yang membuat Messi akan selalu “cacat” di mata mereka yang membangun mezbah atas persepsi bahwa yang terbaik adalah mereka yang mau mencari tantangan baru di banyak tempat, yang harus selalu vokal dalam berpendapat, dan juga mencetak rekor demi rekor yang sebenarnya, di kemudian hari biasanya tak banyak menjadi acuan ‘tuk menentukan yang terbaik.
Permainan Messi bukan hanya tentang jumlah gol, rekor demi rekor pribadi, raihan trofi, serta penghargaan individu yang selama ini menjadi basis acuan kesuksesan seorang pesepakbola. Layaknya Alfredo Di Stefano, Johan Crujff, Ronaldo Nazario, dan Diego Maradona yang tak meraih segalanya, Messi akan dikenang karena segala magis serta momen sakral yang Ia pertunjukkan di atas lapangan hijau tanpa perlu mengingat apa yang selama ini Ia raih, berapa klub yang Ia bela, dan berapa jumlah gol yang Ia cetak. Lagipula, berapa kali kita melibatkan Zidane atau Iniesta dalam perdebatan ini saat mereka sudah meraih segala yang bisa diraih? Atau bagaimana Buffon yang selalu gagal di ajang Eropa itu seringkali disebut lebih baik dari seorang Casillas yang lemari trofinya begitu penuh dan sesak? Meski demikian, Messi dan Ronaldo tak berada di level tersebut. Mereka masih berdiri di atasnya.
Jadi, apakah menjadi seorang petualang yang meraih trofi di banyak negara, menjadi raja pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah, dan peraih trofi terbanyak selama berkarir tidaklah penting untuk meraih status pemain terbaik? Kembali lagi, terserah kalian untuk menyimpulkannya.
Bagi saya pribadi, Messi memberikan rasa senang, berdebar, sampai membuat diri ini seringkali kehabisan kata-kata tiap kali menyaksikan pertandingan yang Ia lakoni. Bahkan Messi tak mengecewakan pada satu-satunya kesempatan saya menyaksikan Barcelona beraksi secara langsung di Camp Nou.
Hanya saja, kembali pada pembahasan di awal, ini adalah persepsi dan mezbah yang saya bangun di era saya menonton sepakbola. Tentu berbeda bukan dengan mereka yang lahir di era berbeda atau hanya mengandalkan cuplikan highlight permainan seorang pesepakbola dari kanal Youtube saja?
–
Layaknya memilih pasangan dalam hidup, begitulah kita biasa memilih siapa yang terbaik selama ini. Semua itu hanya persepsi dan pemahaman yang akan sulit dijelaskan bagaimanapun sempurna atau cacatnya pasangan kita.
Akhir kata, pemain terbaik tak bisa ditentukan hanya karena 1 pertandingan ataupun 1 kejuaraan saja. Wong yang satu juara di timnas saat cedera dan sok jadi pelatih dan yang satu juara sama timnasnya di kompetisi level tarkam. Fucked up di depan gawang pula.
Kini tugas kita hanyalah meneruskan cerita tersebut pada generasi berikutnya.